Langsung ke konten utama

Prau Layar Tirtosegoro











 Keterangan foto: Prosesi sedekah laut di Desa Pecangaan, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Kamis (18/6/2020). (Dokumentasi pribadi Mazka Hauzan)



Prau Layar Tirtosegoro

Cerpen Mazka Hauzan

(Juara 3 Lomba Cipta Cerpen yang diadakan Himpunan Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas PGRI Ronggolawe Tuban, 2020)

 

 Yo konco ning nggisik gembiro

Alerap-lerap banyune segoro

Angliyak numpak prau layar

Ing dino minggu keh pariwisoto

 

Alon praune wis nengah

Byak byuk byak banyu binelah

Ora jemu-jemu karo mesem ngguyu

Ngilangake roso lungkrah lesu

 

(Ayo teman ke pantai bergembira

Berkilau-kilau air laut

Mari naik perahu layar

Pada hari Minggu untuk berwisata

 

Pelan-pelan perahunya sudah di tengah

Byak byuk byak air terbelah

Tidak jemu sembari senyum tertawa

Menghilangkan rasa letih lesu)

 

Suatu debar yang ganjil tumbuh di dada Rusdi dan seketika menjalari seluruh tubuhnya ketika ia mendengar tembang Jawa “Prau Layar” diputar dengan pelantang suara. Lantunan tembang gubahan Ki Nartosabdo itu, mau tidak mau, menjadikan bau laut yang telah berpuluh-puluh tahun ia akrabi jadi terasa berbeda. Samar-samar, indera penciumannya seperti menangkap aroma ingkung ayam kampung, nasi uduk, sambal tomat, dan buah pisang raja segar. Padahal, wujud hidangan-hidangan itu tak ada di dekatnya.

Minggu pagi ini, Rusdi menemani Pak Kepala Dinas menghadiri acara peresmian sebuah lokasi wisata bahari. Bagi Rusdi, Prau Layar adalah pilihan lagu yang brilian, namun ganjil, untuk diputar pada seremoni peresmian wisata bahari yang dikelola swasta ini. Brilian, mengingat daya tarik unggulan wisata bahari ini sesuai dengan lirik tembang dolanan legendaris itu: ajakan untuk pergi ke laut, membelah segara dengan menumpang perahu wisata, mendengar kecipak air, bergembira ria. Ganjil, mengingat lokasi wisata ini berada jauh dari Jawa Tengah, daerah asal tembang tersebut. Lebih dari itu, lokasi wisata ini berada jauh dari pusat kebudayaan Jawa.

Paduan kebrilianan dan keganjilan itu membawa Rusdi terbang ke masa belasan tahun lampau, masa ketika ia baru saja lulus sekolah menengah atas, masa di mana nasib masa depannya harus ditentukan oleh pilihan sang bapak.

***

Ya Rosulallah salamun ‘alaik

Ya rofi’asy-syani waddaroji

‘Athfatan ya jirotal ‘alami

Ya uhailal judi wal karomi

 

(Wahai Rasulullah salam sejahtera untukmu

Wahai yang berbudi luhur dan bermartabat tinggi

Rasa kasihmu wahai pemimpin tetangga

Wahai dermawan dan pemurah hati)

 

Setelah mendendangkan tembang Prau Layar, Saryono, ayah Rusdi, melantunkan selawat atas nabi dengan nada yang sama. Matanya terpejam menghayati, tangannya menengadah. Ia duduk di buritan perahu motor nelayan. Di dekatnya, Rusdi bersama remaja-remaja seusia mengiringi lantunan selawat dengan tabuhan rebana. Tak seperti teman-temannya, Rusdi menabuh rebana secara kurang bersemangat.

Hari itu, hari ketujuh bulan Syawal, para nelayan di Desa Tirtosegoro, sebuah desa di pesisir utara Jawa Tengah bagian timur, tengah menggelar ritual adat sedekah laut. Sebagaimana desa-desa nelayan lainnya, desa tempat Rusdi tinggal juga menggelar tradisi warisan leluhur itu. Tradisi itu digelar sebagai wujud syukur atas karunia hasil laut yang diberikan Tuhan.

Sejak pagi benar, tujuh perahu motor nelayan berangkat ke laut lepas dari tempat pelelangan ikan setempat. Satu di antara ketujuh perahu itu, yakni perahu yang dinaiki Saryono dan Rusdi, membawa miniatur perahu berisi kepala kambing dan aneka rupa sesaji lainnya. Miniatur perahu itu, berikut sesaji di dalamnya, akan dilarung ke laut lepas.

Sekira dua puluh menit perjalanan menelusuri alur Sungai Gonggo menuju muara, tembang Prau Layar dan selawat atas nabi dilantunkan dengan iringan rebana. Begitu ketujuh perahu tiba di laut lepas, tokoh agama desa memimpin doa bersama. Setelahnya, miniatur perahu berisi sesaji dilepas ke laut.

Ketika teman-temannya bahu-membahu menggotong sesaji dan melepasnya ke laut, Rusdi duduk menyendiri di buritan. Tampangnya cemberut. Pikirannya silang-sengkarut. Ia masih berdiam menatap kosong ke laut ketika ketujuh perahu nelayan berputar-putar tujuh kali, mengelilingi sesaji yang telah dilarung. Sepatah pun ucapan belum juga keluar dari bibirnya ketika para nelayan, masih di tengah prosesi sedekah laut, menggelar bancakan atau makan bersama di atas perahu. Bahkan, ingkung ayam kampung, nasi uduk, sambal tomat, dan buah pisang raja segar yang dilahap begitu nikmat oleh teman-temannya tak mampu menarik hatinya, apalagi mengubah suasana hatinya.

Saryono yang paham betul tentang musabab kegundahan hati putra tunggalnya itu berbisik, “Besok kamu bisa mendaftar kuliah. Nanti Bapak ceritakan. Sekarang makanlah dulu. Kalau kamu tidak berselera, setidaknya cobalah makan sedikit untuk menghargai adat istiadat.”

Perasaan takut kualat pada leluhur mendadak muncul di hati Rusdi. Maka, setelah mengucap basmalah, dipuluknya sejumput nasi dan sesuwir daging ayam.

***

“Bapak gadaikan perahu? Nanti bagaimana menebusnya?” tanya Rusdi. Keringat dingin membasahi keningnya. Kini hatinya dipenuhi rasa sungkan dan rasa bersalah.

“Uangnya bisa kamu pakai untuk daftar kuliah. Pekan depan Bapak ikut kapal Pak Jufri melaut ke Maluku. Doakan Bapak selamat dan diberi kelapangan rezeki. Mudah-mudahan sepulang dari sana perahu bisa langsung Bapak tebus,” timpal Saryono tanpa segurat pun sesal di wajahnya.

Bagi Saryono, ini keputusan terbaik yang tak akan ia ratapi di kemudian hari. Dengan cara inilah ia bisa membukakan jalan bagi putra semata wayangnya untuk mewujudkan keinginan mendaftar kuliah tahun ini. Jika hanya mengandalkan penghasilan sebagai nelayan harian tradisional, pada masa sulit ini, rasa-rasanya mustahil ia bisa menyiapkan biaya pendaftaran dan uang pangkal kuliah sebelum batas waktu yang ditentukan. Simpanan uang yang ia punya tidak cukup untuk menutup nominal biaya yang ditunjukkan Rusdi di brosur perguruan tinggi.

Sudah berhari-hari sejak pengumuman kelulusan sekolah menengah atas, Rusdi bersungut-sungut. Ia merajuk karena setelah mengungkapkan keinginannya berkuliah, Saryono menjawab, “Kamu, kan, tahu hasil ikan sedang sulit. Bahan bakar sedang mahal-mahalnya. Pada masa begini, setiap hari bisa dapat tangkapan untuk makan sehari-hari saja sudah syukur. Tundalah keinginanmu barang setahun lagi. Tahun depan in syaa Allah Bapak usahakan.”

“Kalau Ibu masih ada, pasti aku boleh kuliah tahun ini juga!” tukas Rusdi sebelum melengos pergi meninggalkan rumah, setelah ia mendapat jawaban dari sang bapak, yang menurutnya mengecewakan.

Mendapat perlakuan demikian dari sang anak, sudah tentu perasaan Saryono tercabik-cabik. Bapak mana yang tidak sedih jika tak mampu menebus cita-cita sang anak?

Maka, setelah beberapa hari merutinkan salat istikharah, keputusan besar itu Saryono ambil. Ia gadaikan perahu kecil yang telah menemaninya mencari nafkah selama puluhan tahun. Kemudian, pada hari yang sama, ia menemui Jufri, sang saudagar kaya pemilik kapal-kapal besar berukuran puluhan Gross Tonnage.

***

“Sebuah kapal motor nelayan terbalik diterjang gelombang besar di Laut Arafura. Satu orang awak kapal tewas, sementara 29 lainnya selamat. Diketahui, seluruh awak kapal merupakan warga Jawa Tengah.” Pada suatu tengah malam, pembawa berita televisi membacakan kabar itu.

Pada saat yang sama, Rusdi tengah tertidur kelelahan di kamar indekosnya. Tenaganya terkuras habis setelah seharian mengikuti serangkaian kegiatan orientasi mahasiswa baru di kampusnya yang terletak di ibu kota provinsi.

***

Sebagai wujud bela sungkawa, Jufri sang saudagar kapal membiayai kuliah Rusdi sampai lulus. Setelah lulus hingga belasan tahun kemudian, Rusdi tak pernah sekali pun pulang ke Tirtosegoro. Selain tak lagi punya siapa-siapa di sana, kampung halamannya itu telah memberinya luka dan trauma. Maka, Rusdi merantau, menyusul pamannya yang telah lama bertransmigrasi ke sebuah kabupaten di wilayah pesisir Sumatra Selatan. Di sana, selama berbelas tahun tanpa sekalipun dimutasi, Rusdi bekerja di dinas kelautan dan perikanan.

“Rusdi, tolong ke sini sebentar!” Teriakan Pak Kepala Dinas membuyarkan lamunan Rusdi.

“Oh, ini orangnya yang sudah lupa kampung halaman?” ucap seorang pria paruh baya berpenampilan necis yang berdiri di samping Pak Kepala Dinas.

“Pak Jufri ini juragan kapal besar, Rus. Beliau saudara dari pemilik perusahaan yang mengelola wisata bahari ini. Sekampung denganmu juga rupanya. Tidak kenalkah kau?” ucap Pak Kepala Dinas.

Debur ombak berganti hening yang pekat. Rusdi meringis, tiba-tiba ia ingin menangis.

Parenggan, 21 Juli 2020

 

Mazka Hauzan lahir di Cirebon pada 12 Desember 1993. Ia kini berdomisili di Pati, Jawa Tengah. Ia bekerja sebagai wartawan di sebuah media yang berkantor di Semarang. Cerpen, esai, dan fiksi mini karyanya yang pernah dimuat di media massa atau memenangi perlombaan ia unggah di mazkahauzan.blogspot.com.



Komentar

  1. Kalau dia trauma, pilihan pekerjaannya harusnya bukan di dinas perikanan kelautan ya.. Jd agak paradoks.. Tp mgkn dia milih itu justru krn ada rindu terpendam pd orgtuanya yg pelaut dn ia bertumbuh sbg anak pantai. Dr paragraf pertama aku curiga berbau mistis (krn otakku mistis wkwk) ternyata keganjilan pilihan lagu prau layar itu krn kehadiran saudagar Jufri yg brasal dr tanah jawa. Tp ini sbnre pesan morale apa maz? Ga boleh lupa ama yg udh nolongin kt, atau gmn.. Mohon pencerahan..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Petaka Rajah Walet di Hotel Tua

Petaka Rajah Walet di Hotel Tua oleh Mazka Hauzan* (Cerpen hasil program Residensi Literatutur 2023 yang diadakan Yayasan Gang Sebelah Gresik bersama Pusat Pengembangan Bahasa dan Sastra Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi [Kemdikbudristek] Republik Indonesia) Hari masih subuh dan kawasan kota tua Bandar Grissee baru mulai berdenyut. Toko kelontong di Jalan HOS Cokroaminoto baru dibuka pintu kayunya yang berkeriut. Pengayuh becak baru mulai mengayun lutut, melintasi Jalan Basuki Rahmat, Malioboro-nya Gresik. Semenjak direnovasi akhir tahun lalu, begitulah jalan ini orang-orang sebut. Di emperan toko Jalan Raden Santri, oleh pedagang sayur yang baru menggelar lapak, bapak-bapak dan ibu-ibu disambut. Para pembeli ini masih bersarung dan bermukena. Mereka berbelanja sepulang salat subuh dengan wajah masih berhias cahaya doa qunut. Berbeda dari orang-orang itu, wajah Nadhif Munawar tak bercahaya. Justru muram dan kusut. Pikirannya acakadut. Padahal dia juga baru saja

Kisah Pekerja Kreatif Tanpa Slip Gaji di Semarang Bisa Miliki Hunian Impian lewat Pembiayaan Perbankan

Dokumentasi Pribadi Arief Hadinata Arief Hadinata (33), seniman visual, bekerja di studio sekaligus tempat tinggalnya di Kelurahan Kalisegoro, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang. Bagi pasangan muda Arief Hadinata (33) dan Amanda Rizqyana (32), memiliki hunian pribadi pernah jadi mimpi terlalu dini. Bagaimana tidak? Arief adalah seniman visual, pekerja-lepas informal di bidang ilustrasi dan desain grafis yang tidak mengenal slip gaji. Sementara, Amanda hanyalah pekerja entry-level berupah minimum. Mereka sempat berpikir, mereka bukanlah jenis pekerja yang disenangi perbankan. Sebab, sulit bagi mereka memenuhi persyaratan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Sambil tetap merawat mimpi punya hunian sendiri, keluarga kecil dengan satu anak ini harus tiga kali berpindah-pindah rumah kontrakan dalam kompleks perumahan yang sama. Pada akhirnya, jelang penghujung 2023, mimpi mereka bisa terwujud. Dengan mekanisme pembelian aset via Kredit Usaha Rakyat (KUR) Bank Rakyat Indonesia (BRI) , Arief dan A